Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

JANGAN BUKA PINTU DI MALAM HARI

polisi... polisi... polisi  

 Saat mendengar ketukan di pintu depan, aku langsung mendongak. Saya menaruh novelnyaSaya sedang membaca di atas meja. Saat berdiri, ada tangan yang menopang perutku yang terasa sangat berat. Sebab kandungannya dimulai pada bulan kesembilan. Kakiku menginjak lantai yang masih berupa semen kasar, berjalan agak menanjak karena punggung bawahku mulai terasa sangat pegal. Aku melirik jam dinding di lemari kayu buatan mendiang mertuaku, langkahku terhenti saat melihat jam itu. 01:00, sudah lewat tengah malam. Siapa yang berkunjung pada malam hari? Bahkan saat Mas Haris pulang, dia menyapa secara alami. Saya terdiam beberapa saat. Pikiran berkisar pada pepatah kuno, ketika seseorang mengetuk pintu di tengah malam, biasanya itu bukan orang. Bersemangat! 

 

 Bagaimana jika dia hantu? Oke, aku akan menunggu sampai dia mengetuk lagi. Tok... tok... tok... Lagi. Ketukan itu membuatku terlonjak. Kali ini terdengar lembut namun teratur. "Tauliam, buka pintunya!" Suara itu milik seorang wanita. Sepertinya aku kenal suara itu. "Siapa? Siapa?" aku bertanya dengan tenang. "Marni!" dia dengan cepat menjawab. "Owalah Nona Marni. Kamu pikir kamu ini siapa?"  

 

 Aku menghela nafas lega ketika mendengar jawabannya. Mbak Marni adalah tetangga saya di gang 12, sekitar 200 meter dari sini. Aku tidak tahu kenapa dia mengunjungiku malam-malam begini.  

 Kini dengan santainya aku berjalan menuju kenop pintu mendengar jawaban dari pengetuknya. Namun setelah tangan itu memutar kenop pintu, tangan itu menghentikanku.  

 "Jangan dibuka, Lam!ucapnya dengan bisikan kecil. Dia adalah kakak laki-laki suamiku.  

 “Kenapa suster? Nona Marni sudah keluar,” jawabku sambil hendak membuka pintu kembali. "Daerah!" Panggil Mbak Vita membuatku menaikkan alisku bingung.  

 "Ikutlah denganku, saudari!" Mbak Vita menarik tanganku ke lemari di samping kursi kayu. Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan sesuatu.  

 "Kaca?" tanyaku bingung. 

 He sighed. I then moved my hand again to the window next to the front door. 

 "I want to show you something. He's not human, if you don't believe me, look out through that mirror!" Mbak Vita said and gave me this small glass. 

 My hands were shaking when I heard his story. Why was he so sure that what was outside was not human? After parting the curtains covering the window, I slowly turned the glass outside. 

 Suddenly a cold sweat broke out on my forehead and back. Fear began to creep in. 

 "Allah is the greatest!" I shouted, throwing the mirror in all directions. My leg was shaking, so I took a few steps back. Luckily there was a chair behind me so I didn't fall. 

 "What do you see?" asked Mbak, shaking Vita's hand. 

 "Han...Han..." My mouth went numb. I feel like I can't talk anymore. There was a woman outside who I was sure wasMbak Marni, namun penampilannya sangat seram.  

 Awalnya dia memunggungi saya, namun segera berbalik dan berjalan cepat seolah terbang di depan saya menuju jendela. Mukanya hancur, rahangnya patah dan keluar cairan kental berwarna merah agak berlendir, kulitnya terbuka sempurna, matanya putih bersih, seperti mata terbalik. Rambutnya juga sangat berantakan, dia mengenakan daster putih selutut. ya Tuhan apa itu Nona Vita yang sadar dengan kondisiku, segera menarik tanganku masuk ke dalam kamar. Aku yang masih kaget dan terdiam seribu kata, dipeluknya.  

 “Mas..Mas Haris, Kak. Mas Haris,” aku tergagap.  

 "Tidak perlu khawatir. Haris pasti bermalam di suatu tempat. Tidak mungkin dia kembali larut malam begini," Mbak Vitakata meyakinkan.  

 Mas Harisworks in a factory. The trip takes about two hours from home. I don't know why I'm so worried. 

 "It... It was Miss Marni, the nurse," I said, still trying to explain. 

 "Yes I know. But he is not human, he disappeared from the village for two weeks. Now it's back to ruining Malaga. Besides terror, he also brings death. Two residents became victims. He came to visit in the middle of the night, asked for bitter coffee and then went home. "The next day, if he doesn't get sick, the person he's with is bound to die," Mbak Vita explained, making me shiver even more. 

 I really don't know about that. Because just today I came to my in-laws, I used to live in the city. Mas Haris, who got a job in a factory, finally asked me to live with Mbak Vita, who lives alone. Her husband left her when she was pregnant. Soon after, his son also died. 

 "Aaaaaahhh!" 

 

 Terdengar teriakan dari luar. Aku segera menoleh ke arah Mbak Vita. Seluruh tubuhku gemetar. Suaranya sangat kencang seperti angin. Seolah menjauh dan mendekat lagi. Desir  

 

 Embusan angin kencang datang dari luar membawa suasana mencekam. Ditambah lagi gerimis yang terus turun menambah suasana mencekam. Pada saat yang sama, bau tidak sedap dan amis muncul. Entah kenapa fotoku dulunya adalah Mbak Marni yang mengerikan itu. "Aaaahhhhhhhhh!" Teriakan-teriakan itu terus terdengar, mendorong Mbak Vitato recite the verse again and again. My tears flowed wildly, they flowed down my cheeks. 

 "Sister... Patchouli is scared!" I said trembling. 

 “Calm down, Lam. Allah is with us. Everything will be fine. "The most important thing is that we don't open the door to him," replied Mbak Vita calmly. 

 Screams and cries were still heard, like a terrible night song. Now there are knocking sounds not only on the doors, but also on the windows and walls of the house, some of which are still boards. "Allah... God... Allah. Help us." My hands were shaking violently. Fear made Mbak Vita and I decide to enjoy ourselves in the corner of the room. As my basket was very close to the window, Miss Vita was afraid that something would happen. 

 "Daddy... Open the door!" It is still the voice of Mbak Marni. But now the voice was much scarier than before, and there were two of them. 

 "Sister, Nilam is very scared," I said, hugging Mbak Vita tightly. "Fear not! Satan gains more than you fear him." 

 

 Di atap rumah ini terdengar suara burung hantu, seakan sedang menertawakan keadaan kami. Ditambah lagi, angin yang bertiup sangat kencang membuat suasana semakin mencekam. Desa ini masih sangat jauh dari kota, bahkan kawasan ini masih penuh dengan hutan belantara. Jarak rumah warga masih jauh. Masih merupakan desa yang cukup terpencil. Jeritan dan teriakan di luar mulai mereda karena hujan deras. Kini suasana sudah mendingin. “Ayo tidur di kasur, ayo!” tanya Mbak Vita ketika teriakan dari luar sudah benar-benar reda. Aku mengangguk. Mbak Vita lalu menidurkanku. Karena tangan dan kaki saya masih mati rasa. Sulit untuk bergerak.  

 “Kak kenapa Bu Marniberkeliaran? Apakah dia benar-benar mati? Atau jangan-jangan dia ingin kita menemukan jenazahnya?" Aku mengajukan tawaran. "Nyonya, aku juga tidak tahu, karena warga berusaha mencari.

Posting Komentar untuk "JANGAN BUKA PINTU DI MALAM HARI"