JODOH UNTUK OM BUJANG LAPUK (14)
#FULLPART
"Kenapa diblokir?" tanya Al heran.
Sesaat Dina hanya terdiam, pandangannya kosong, tampak ia sedang ketakutan.
"Din, are you okey?" pertanyaan Al kembali menyadarkan Dina.
"Oh, A', aku nggak apa-apa kok," sahutnya kikuk.
Al memperhatikan gerak-gerik Dina, gestur tubuh Dina yang semula tenang berubah menjadi gelisah, walau ia berusaha untuk menutupinya, tapi Al dapat merasakannya. Setiap hari hidup berkutat dengan ribuan karyawan yang bermacam-macam membuatnya pandai membaca keadaan.
"Hei kamu tenang dulu," ucap Al menenangkan.
Dina menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya.
"So, coba jelaskan pada saya, itu tadi nomor saudara kamu? Kakak kamu?"tanya Al pelan.
Dina mengangguk.
"Lalu kenapa malah kamu blokir?" tanya Al heran, ia mulai menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan hubungan keluarga Dina.
"Dia suka ganggu aku A', aku nggak mau lagi diganggunya," jawab Dina dengan pandangan kosong.
"Ganggu? Dia jahat sama kamu?" tanya Al menautkan dua alis tebalnya.
"Kakak-kakak aku yang jual aku ke tante Merry," jawan Dina tertunduk. Sedangkan Al, ia terhenyak, merasa terkejut dengan penjelasan Dina.
"Kenapa mereka bisa sekeji itu sama kamu?" tanya Al heran, tak dapat mencerna bagaimana seorang kakak bisa sampai hati menjual adiknya sendiri.
"Mereka saudara tiri aku. Saat menikah dengan Ibu, Ayah seorang duda dengan dua anak laki-laki, konon di pernikahan pertamanya ia dan istrinya bercerai, dan istri pertamanya tidak bersedia merawat anak-anak.mereka. Jadilah keduanya ikut serta dengan Ayah," jelas Dina membuat Al mulai memahami duduk permasalahannya.
"Lalu kenapa mereka menjualmu?"
"Orangtuaku meninggal karena mengalami kecelakaan, sedangkan keduanya masih memiliki banyak tanggungan di rentenir." Dina menjelaskannya dengan wajah tertunduk, tampak sekali ia menahan kesedihan yang mendalam.
Sedangkan Alfaro di sisinya seolah dapat merasakan apa yang Dina rasakan.
"Seringkali kematian kedua orang tua menyisakan kesedihan di hati anak-anaknya, tak hanya kesedihan karena merasa kehilangan, mereka juga harus merasakan kepedihan menanggung hidup yang tiba-tiba terasa pahit sepeninggal mereka.
Kehilangan naungan untuk berlindung, kehilangan tiang untuk berpegangan, kehilangan rumah untuk berpulang, kehilangan pembela, kehilangan penyelamat. Mereka membuat anak-anak mereka harus berjuang, tertatih untuk melanjutkan kehidupan yang begitu kejam.
Itulah alasan kenapa saya tidak ingin memiliki keturunan. Saya tidak ingin anak-anak saya harus merasakan kepedihan yang pernah saya rasakan." Alfaro bercerita dengan pandangan kosong mengarah ke langit-langit kamar.
Sejenak Dina dibuat heran, sebab ini adalah kalimat terpanjang yang pernah suaminya katakan. Ia menoleh ke arah Al, tampak lelaki es itu menengadahkan kepala ke atas, mencoba menahan air mata agar tak sampai jatuh dari kelopaknya. Malam itu, akhirnya Dina tahu titik lemah suaminya. Dia yang kuat, dia yang beku ternyata memiliki hati yang begitu rapuh.
"Jadi itu alasan Aa' Al memintaku KB, setrauma itu kah ia dengan kehidupannya?" batin Dina mulai mengenal sisi lain dari Alfaro Putra Alfahri.
"Seseorang pernah mengatakan pada Dina, bahwa saat kita ingin menangis, maka menangislah, sebab air mata bukanlah tanda kelemahan seseorang, melainkan ia adalah penguat, yang ketika ia berhasil keluar, ia akan menjadikan pemilik raganya semakin kuat dan tegar."
Seketika, Al memejamkan matanya, dan bulir bening itu dengan cepat meluncur membasahi wajahnya. Air mata yang selama bertahun-tahun ditahannya, sebab tak ingin terus menerus merasa lemah. Air mata yang selama bertahun-tahun berusaha ia sembunyikan dengan menciptakan sisi dingin dalam dirinya, demi membalut kerapuhan dalam hatinya.
Tak lama Al dalam posisi itu, ia segera menghela nafasnya, kemudian dengan cepat mengusap air matanya. Tanpa berkata-kata Al berniat beranjak dari tempatnya, ia merasa malu pada Dina karena telah tampak lemah dengan air matanya.
"Aa' mau kemana? Aa' di sini aja, lanjutkan nangisnya," cegah Dina membuat Al menolehkan wajahnya.
"Saya sudah sering melakukannya dulu, dan saya tak ingin berlarut-larut dalam situasi ini," ucapnya membuat Dina tersenyum.
"Oppa Al emang lelaki yang tangguh," puji Dina membuat Al tersenyum tipis. "Tapi Oppa harus tahu, bahwa menangis saat diperlukan justru akan menambah ketangguhan Oppa," lanjut Dina membuat Al memandangnya penuh makna.
"Kamu manggil saya dengan sebutan itu lagi gara-gara saya nangis? Gara-gara saya banyak drama kaya serial yang kamu tonton itu? Iya?" tanya Al berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Engga dong, Oppa, aku panggil gitu karena panggilan itu cocok untuk Oppa," jawab Dina sembari menyunggingkan senyuman manisnya.
"Cocok dari mana? Oppa oppa korea itu tampan, putih, langsing, sedangkan saya? Kulit saya coklat, badan saya kekar, di mana cocoknya?" balas Al membuat Dina menahan tawanya.
"Terus kalau bukan Oppa apa dong yang cocok? Om?" goda Dina membuat Al menggeleng-gelengkan kepala, "nggak sopan kamu ya," ucapnya sembari menoel hidung kecil milik istrinya.
Merasa situasi di antara mereka mulai menghangat, Al membatalkan niatnya untuk beranjak.
"Ngomong-ngomong siapa seseorang yang mengatakan tentang filosofi air mata itu ke kamu, sepertinya orang yang sangat berarti dalam hidup kamu, sampai kamu mengingatnya begitu baik. Apa itu ibu atau ayah kamu?" tanya Al penasaran.
"Kenapa Aa' bertanya seperti itu? Pasti karena kata-katanya memang mengena di hati ya?" tanya Dina membuat Al berpikir.
"Ya, bisa di bilang begitu. Dia memandang air mata dari sisi lain, berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya," sahut Al.
"Ya Aa' betul, dan orang yang mengatakannya bukanlah Ayah atupun Ibu, sebab Ayah dan Ibu tak pernah memberiku nasihat tentang air mata, karena semasa mereka masih hidup, mereka sangat menyayangiku, sedikitpun tak akan membiarkan sesuatu membuatku sedih apalagi menangis.
Aku mengetahui filosofi itu saat merasa terpuruk sepeninggal Ayah dan Ibu. Lalu seseorang datang dengan sebuah kalimat yang membuatku bangkit dan menjadi lebih kuat sampai saat ini," jelas Dina membuat Al semakin penasaran.
"Memangnya siapa dia?"
"Dia kak Ali," jawab Dina membuat dada Al tiba-tiba bergemuruh.
[Namanya Ali Hadari, mahasiswa semester akhir di jurusan sastra bahasa, aktif di banyak organisasi yang juga diikuti oleh non Dina, Berkepribadian baik dan berprestasi, idola para ukhty di kampus. Kedekatannya dengan non Dina nggak ada yang spesial, hanya dekat sebatas teman, karena menurut teman-teman mereka baik Ali mapupun non Dina tidak ada yang pernah berpacaran. Itu info semetara ini, Pak.]
Tiba-tiba Al teringat akan pesan panjang Supri yang baru sempat dibacanya saat perjalanan ke tempat tante Merry.
"Siapa kak Ali?" tanya Al ingin tahu jawaban Dina.
"Kakak tingkat aku," jawab Dina jujur.
"Kamu dekat sama dia?" tanya Al semakin ingin tahu.
"Ehmmm, lumayan sih, kenapa, Aa' pengen ketemu? Bisa nanti Dina sampaikan. Dia orangnya emang inspiratif banget sih, tiap kata perkata nya sangat memotivasi,"jelas Dina panjang kali lebar membuat Al semakin kepanasan.
"Sepertinya kamu sangat mengaguminya, ya?" tanya Al tak suka.
"Dulu emang fans beratnya, sih," jawab Dina tak berdosa.
"Kalau sekarang?"
"Sekarang? Ehm, masih sama sih, dia memang salah satu mahasiswa yang banyak kelebihan Aa''" jawab Dina lagi membuat Al semakin memanas, "kalau Aa' mau ketemu bisa kok, nanti Dina aturkan jadwalnya, gimana?" lanjutnya lagi.
"Nggak!" jawab Al singkat penuh penekanan, kemudian ia meringkuk memeluk guling dan memunggungi Dina. Membuat Dina di sisinya menjadi bertanya-tanya.
"Aa' mau tidur?"
"Iya."
"Kok cepat sih A'? Ini baru jam berapa loh? Katanya mau bantu pilihkan lingerie?" tanya Dina berusaha kembali mendapatkan perhatian Al.
"Kamu pilih aja sendiri!" jawab Al tanpa menolehkan pandangannya.
Dina yang menangkap maksud perubahan sikap Al mulai tersenyum jail.
Ia lalu memeluk Al dari arah belakang,
"Oppa ...,"panggilnya manja.
Tak ada reaksi dari Al.
"Oppa ... Kenapa sih?" tanya Dina lagi dengan suara manja.
Namun tetap Al tak menyahuti.
"Oppa ... Aku minta maaf ya kalau aku salah," ucap Dina sembari memutar-mutarkan jari telunjuknya di punggung suaminya.
"Sebagai permintaan maaf, gimana kalau kita lanjut lagi?" tawar Dina seketika membuat Al membalikkan badannya.
"Lanjut apa?" tanya Al antusias.
"Lanjut ngobrol," sahut Dina dengan senyuman tengilnya, membuat Al meliriknya kesal, kemudian segera kembali ke posisi awal.
"Bercanda Oppa," lanjut Dina sembari menarik lengan Al agar kembali menghadapnya,
"Maksud aku lanjut itu," sambun Dina malu-malu.
"Itu apa?"
"Itu itu."
"Itu itu apa, Din?" tanya Al gemas, panas yang semula membakar hatinya tiba-tiba hilang melihat raut menggemaskan Dina yang sedang malu-malu.
"Ah, Oppa ..., masa nggak paham sih?" lanjut Dina sembari meremas-remas jarinya salting, membuat Al semakin tak dapat menahan senyumnya.
"Pintar ngerayu ya, kamu," ucap Al sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Dina, hendak melanjutkan itu itu yang ditawarkan istrinya.
Namun baru saja bibir mereka bersentuhan, tiba-tiba ponsel Al berbunyi. Seketika Al mengumpat karena merasa terganggu.
"Siapa sih, ganggu aja malam-malam," gerutunya sembari menjauhkan dirinya dari tubuh Dina.
Al meraih ponsel di nakas, dan seketika kedua matanya membulat sempurna.
"Kenapa A'?" tanya Dina heran.
"Oma video call, Din," ucapnya masih terkejut sembari melihat dirinya dan Dina yang masih sama-sama tak berbusana.
"Astaga, gimana ini?" pekik Al mulai kelimpungan.
#bacanovel #novel #novelromance #novelromancereligi #full_part #jodoh_untuk_Om_Bujang_Lapuk #penazahra

Posting Komentar untuk "JODOH UNTUK OM BUJANG LAPUK (14)"